Semoga keselamatan, kesejahteraan melimpah kepada kita semua. Semoga rahmat dan hidayah Allah tercurah kepada kita. Kita semua selalu dalam nikmat iman dalam petunjuk dan jalan yang diridhoiNya.

ALQUR'AN MENENANGKAN PENDERITA AUTIS

sejak kecil Hafiz mengalami autis.
Dalam kesehariannya ia
berteriak. Ajaibnya, ia lantas
berhenti ketika dikumandangkan
suara Syeikh Sudays
Namanya Hafiz. Ia lahir dari
keluarga biasa di Kerala, India.
Hafiz, sejak kecil
mengalami autis
sehingga dalam
kesehariannya
hanya berteriak.
Suatu saat, sang ibu,
Fasila mencoba
mengimbangi
teriakan Hafiz
dengan kaset
bacaan ayat suci Al-
Quran yang
dikumandangkan Syeikh as-
Sudays, imam Masjidil Haram
Mekah yang terkenal. Tak
dinyana, Hafiz tenang dan tak
teriak lagi.
Yang mengagumkan, ketika sang
ibu mematikan kaset iyu, Hafiz
meneruskan bacaan Al-Quran.
Sang ibu kaget melihat
kemampuan Hafiz. Maka, orang-
orang di sekitar diundang untuk
mencek hafalan Hafiz, ternyata
benar. Bacaan yang dialkukan
Syeikh as-Sudais dibaca secara
benar dengan suara yang
dimiripkan dengan suara Sudais.
Fasila teriak bahagia kala itu.
Sehingga dengan sangat
mengagumkan, Hafiz bisa
menghafal Al-Quran yang berisi
114 surah ini dengan baik dan
benar.
Dalam usia lima tahun Hafiz
sudah hafal Al-Quran. Ia kini
menjadi tenang dengan
diputarkan ayat-ayat suci itu.
Padahal, Hafiz bicara saja belum
pernah becus. Suatu saat, Fasila
mengajak Hafiz serta ayahnya
Ashim Muhammad yang bekerja
di Uni Emirat Arab untuk umrah.
Ada tujuan lain disamping
umrah, Ashim ingin
mempertemukan Hafid dengan
idolanya, Syeikh Sudais.
Tapi, Ashim keburu
membawanya ke masjid Ar-
Ruwaiys di Mekah yang khusus
menangani anak-anak cacat.
Mereka semua dibuat kagum
dengan kemampuan hafalan
Hafiz yang luar biasa.
Ayat Al-Quran telah membuat
ketenangan buat dirinya dan
hafalan Al-Quran itu telah
menghiburnya serta kedua
orangtuanya.
Demikian seperti diberitakan
harian Al-Ittihad (Uni Emirat
Arab) yang kemudian dikutip
harian Khaleej Times edisi 16 Mei
2008.

SEX DALAM ISLAM.

Sebagai bagian dari fitrah
kemanusiaan, Islam tidak pernah
memberangus hasrat seksual.
Islam memberikan panduan
lengkap agar seks bisa tetap
dinikmati seorang muslim tanpa
harus kehilangan ritme
ibadahnya.
Bulan Syawal, bagi umat Islam
Indonesia, bisa dibilang sebagai
musim kawin. Anggapan ini
tentu bukan tanpa alasan.
Kalangan santri dan muhibbin
biasanya memang memilih bulan
tersebut sebagai waktu untuk
melangsungkan aqad nikah.
Kebiasaan tersebut tidak lepas
dari anjuran para ulama yang
bersumber dari ungkapan
Sayyidatina Aisyah binti Abu
Bakar Shiddiq yang dinikahi
Baginda Nabi pada bulan
Syawwal. Ia berkomentar,
" Sesungguhnya pernikahan di
bulan Syawwal itu penuh
keberkahan dan mengandung
banyak kebaikan. "
Namun, untuk menggapai
kebahagiaan sejati dalam rumah
tangga tentu saja tidak cukup
dengan menikah di bulan
Syawwal. Ada banyak hal yang
perlu dipelajari dan diamalkan
secara seksama oleh pasangan
suami istri agar meraih
ketentraman (sakinah), cinta
(mawaddah) dan kasih sayang
(rahmah), baik lahir maupun
batin. Salah satunya –dan yang
paling penting– adalah persoalan
hubungan intim atau dalam
bahasa fiqih disebut jima '.
Sebagai salah tujuan
dilaksanakannya nikah,
hubungan intim –menurut
Islam– termasuk salah satu
ibadah yang sangat dianjurkan
agama dan mengandung nilai
pahala yang sangat besar. Karena
jima ' dalam ikatan nikah adalah
jalan halal yang disediakan Allah
untuk melampiaskan hasrat
biologis insani dan menyambung
keturunan bani Adam.
Selain itu jima' yang halal juga
merupakan iabadah yang
berpahala besar. Rasulullah SAW
bersabda, "Dalam kemaluanmu
itu ada sedekah." Sahabat lalu
bertanya, "Wahai Rasulullah,
apakah kita mendapat pahala
dengan menggauli istri kita?. "
Rasulullah menjawab, "Bukankah
jika kalian menyalurkan nafsu di
jalan yang haram akan berdosa?
Maka begitu juga sebaliknya, bila
disalurkan di jalan yang halal,
kalian akan berpahala. " (HR.
Bukhari, Abu Dawud dan Ibnu
Khuzaimah)
Karena bertujuan mulia dan
bernilai ibadah itu lah setiap
hubungan seks dalam rumah
tangga harus bertujuan dan
dilakukan secara Islami, yakni
sesuai dengan tuntunan Al-
Quran dan sunah Rasulullah SAW.
Hubungan intim, menurut Ibnu
Qayyim Al-Jauzi dalam Ath-
Thibbun Nabawi (Pengobatan ala
Nabi), sesuai dengan petunjuk
Rasulullah memiliki tiga tujuan:
memelihara keturunan dan
keberlangsungan umat manusia,
mengeluarkan cairan yang bila
mendekam di dalam tubuh akan
berbahaya, dan meraih
kenikmatan yang dianugerahkan
Allah.
Ulama salaf mengajarkan,
" Seseorang hendaknya menjaga
tiga hal pada dirinya: Jangan
sampai tidak berjalan kaki, agar
jika suatu saat harus
melakukannya tidak akan
mengalami kesulitan; Jangan
sampai tidak makan, agar usus
tidak menyempit; dan jangan
sampai meninggalkan hubungan
seks, karena air sumur saja bila
tidak digunakan akan kering
sendiri.
Wajahnya Muram
Muhammad bin Zakariya
menambahkan, "Barangsiapa
yang tidak bersetubuh dalam
waktu lama, kekuatan organ
tubuhnya akan melemah,
syarafnya akan menegang dan
pembuluh darahnya akan
tersumbat. Saya juga melihat
orang yang sengaja tidak
melakukan jima ' dengan niat
membujang, tubuhnya menjadi
dingin dan wajahnya muram. "
Sedangkan di antara manfaat
bersetubuh dalam pernikahan,
menurut Ibnu Qayyim, adalah
terjaganya pandangan mata dan
kesucian diri serta hati dari
perbuatan haram. Jima ' juga
bermanfaat terhadap kesehatan
psikis pelakunya, melalui
kenikmatan tiada tara yang
dihasilkannya.
Puncak kenikmatan bersetubuh
tersebut dinamakan orgasme
atau faragh. Meski tidak semua
hubungan seks pasti berujung
faragh, tetapi upaya optimal
pencapaian faragh yang adil
hukumnya wajib. Yang dimaksud
faragj yang adil adalah orgasme
yang bisa dirasakan oleh kedua
belah pihak, yakni suami dan
istri. Mengapa wajib? Karena
faragh bersama merupakan
salah satu unsur penting dalam
mencapai tujuan pernikahan
yakni sakinah, mawaddah dan
rahmah. Ketidakpuasan salah
satu pihak dalam jima ', jika
dibiarkan berlarut-larut,
dikhawatirkan akan
mendatangkan madharat yang
lebih besar, yakni
perselingkuhan. Maka, sesuai
dengan prinsip dasar islam, la
dharara wa la dhirar (tidak
berbahaya dan membahayakan),
segala upaya mencegah hal-hal
yang membahayakan pernikahan
yang sah hukumnya juga wajib.
Namun, kepuasan yang wajib
diupayakan dalam jima ' adalah
kepuasan yang berada dalam
batas kewajaran manusia, adat
dan agama. Tidak dibenarkan
menggunakan dalih meraih
kepuasan untuk melakukan
praktik-praktik seks
menyimpang, seperti sodomi
(liwath) yang secara medis telah
terbukti berbahaya. Atau
penggunaan kekerasaan dalam
aktivitas seks (mashokisme), baik
secara fisik maupun mental, yang
belakangan kerap terjadi. Maka,
sesuai dengan kaidah ushul fiqih
" ma la yatimmul wajibu illa bihi
fahuwa wajibun" (sesuatu yang
menjadi syarat kesempurnaan
perkara wajib, hukumnya juga
wajib), mengenal dan
mempelajari unsur-unsur yang
bisa mengantarkan jima ' kepada
faragh juga hukumnya wajib.
Bagi kaum laki-laki, tanda
tercapainya faragh sangat jelas
yakni ketika jima ' sudah
mencapai fase ejakulasi atau
keluar mani. Namun tidak
demikian halnya dengan kaum
hawa ' yang kebanyakan bertipe
"terlambat panas", atau –bahkan
— tidak mudah panas. Untuk
itulah diperlukan berbagai
strategi mempercepatnya.
Dan, salah satu unsur terpenting
dari strategi pencapaian faragh
adalah pendahuluan atau
pemanasan yang dalam bahasa
asing disebut foreplay (isti 'adah).
Pemanasan yang cukup dan
akurat, menurut para pakar
seksologi, akan mempercepat
wanita mencapai faragh.
Karena dianggap amat penting,
pemanasan sebelum berjima '
juga diperintahkan Rasulullah
SAW. Beliau bersabda, "Janganlah
salah seorang di antara kalian
menggauli istrinya seperti
binatang. Hendaklah ia terlebih
dahulu memberikan
pendahuluan, yakni ciuman dan
cumbu rayu. " (HR. At-Tirmidzi).
Ciuman dalam hadits diatas tentu
saja dalam makna yang
sebenarnya. Bahkan, Rasulullah
SAW, diceritakan dalam Sunan
Abu Dawud, mencium bibir
Aisyah dan mengulum lidahnya.
Dua hadits tersebut sekaligus
mendudukan ciuman antar
suami istri sebagai sebuah
kesunahan sebelum berjima '.
Ketika Jabir menikahi seorang
janda, Rasulullah bertanya
kepadanya, "Mengapa engkau
tidak menikahi seorang gadis
sehingga kalian bisa saling
bercanda ria? …yang dapat saling
mengigit bibir denganmu." HR.
Bukhari (nomor 5079) dan
Muslim (II:1087).
Bau Mulut
Karena itu, pasangan suami istri
hendaknya sangat
memperhatikan segala unsur
yang menyempurnakan fase
ciuman. Baik dengan menguasai
tehnik dan trik berciuman yang
baik, maupun kebersihan dan
kesehatan organ tubuh yang
akan dipakai berciuman. Karena
bisa jadi, bukannya menaikkan
suhu jima ', bau mulut yang tidak
segar justru akan menurunkan
semangat dan hasrat pasangan.
Sedangkan rayuan yang
dimaksud di atas adalah semua
ucapan yang dapat memikat
pasangan, menambah
kemesraan dan merangsang
gairah berjima '. Dalam istilah
fiqih kalimat-kalimat rayuan yang
merangsang disebut rafats, yang
tentu saja haram diucapkan
kepada selain istrinya.
Selain ciuman dan rayuan, unsur
penting lain dalam pemanasan
adalah sentuhan mesra. Bagi
pasangan suami istri, seluruh
bagian tubuh adalah obyek yang
halal untuk disentuh, termasuk
kemaluan. Terlebih jika
dimaksudkan sebagai
penyemangat jima '. Demikian
Ibnu Taymiyyah berpendapat.
Syaikh Nashirudin Al-Albani,
mengutip perkataan Ibnu Urwah
Al-Hanbali dalam kitabnya yang
masih berbentuk manuskrip, Al-
Kawakbu Ad-Durari,
" Diperbolehkan bagi suami istri
untuk melihat dan meraba
seluruh lekuk tubuh
pasangannya, termasuk
kemaluan. Karena kemaluan
merupakan bagian tubuh yang
boleh dinikmati dalam bercumbu,
tentu boleh pula dilihat dan
diraba. Diambil dari pandangan
Imam Malik dan ulama lainnya. "
Berkat kebesaran Allah, setiap
bagian tubuh manusia memiliki
kepekaan dan rasa yang berbeda
saat disentuh atau dipandangi.
Maka, untuk menambah kualitas
jima ', suami istri diperbolehkan
pula menanggalkan seluruh
pakaiannya. Dari Aisyah RA, ia
menceritakan, "Aku pernah
mandi bersama Rasulullah dalm
satu bejana …" (HR. Bukhari dan
Muslim).
Untuk mendapatkan hasil
sentuhan yang optimal,
seyogyanya suami istri
mengetahui dengan baik titik-
titik yang mudah
membangkitkan gairah
pasangan masing-masing. Maka
diperlukan sebuah komunikasi
terbuka dan santai antara
pasangan suami istri, untuk
menemukan titik-titik tersebut,
agar menghasilkan efek yang
maksimal saat berjima'.
Diperbolehkan bagi pasangan
suami istri yang tengah berjima'
untuk mendesah. Karena
desahan adalah bagian dari
meningkatkan gairah. Imam As-
Suyuthi meriwayatkan, ada
seorang qadhi yang menggauli
istrinya. Tiba-tiba sang istri
meliuk dan mendesah. Sang
qadhi pun menegurnya. Namun
tatkala keesokan harinya sang
qadhi mendatangi istrinya ia
justru berkata, "Lakukan seperti
yang kemarin."
Satu hal lagi yang menambah
kenikmatan dalam hubungan
intim suami istri, yaitu posisi
bersetubuh. Kebetulan Islam
sendiri memberikan kebebasan
seluas-luasnya kepada
pemeluknya untuk mencoba
berbagai variasi posisi dalam
berhubungan seks. Satu-satunya
ketentuan yang diatur syariat
hanyalah, semua posisi seks itu
tetap dilakukan pada satu jalan,
yaitu farji. Bukan yang lainnya.
Allah SWT berfirman, "Istri-
istrimu adalah tempat bercocok
tanammu, datangilah ia dari arah
manapun yang kalian
kehendaki. " QS. Al-Baqarah
(2:223).
Posisi Ijba'
Menurut ahli tafsir, ayat ini turun
sehubungan dengan kejadian di
Madinah. Suatu ketika beberapa
wanita Madinah yang menikah
dengan kaum muhajirin
mengadu kepada Rasulullah SAW,
karena suami-suami mereka
ingin melakukan hubungan seks
dalam posisi ijba ' atau tajbiyah.
Ijba adalah posisi seks dimana
lelaki mendatangi farji
perempuan dari arah belakang.
Yang menjadi persoalan, para
wanita Madinah itu pernah
mendengar perempuan-
perempuan Yahudi mengatakan,
barangsiapa yang berjima '
dengan cara ijba' maka anaknya
kelak akan bermata juling. Lalu
turunlah ayat tersebut.
Terkait dengan ayat 233 Surah
Al-Baqarah itu Imam Nawawi
menjelaskan, "Ayat tersebut
menunjukan diperbolehkannya
menyetubuhi wanita dari depan
atau belakang, dengan cara
menindih atau bertelungkup.
Adapun menyetubuhi melalui
dubur tidak diperbolehkan,
karena itu bukan lokasi bercocok
tanam. " Bercocok tanam yang
dimaksud adalah berketurunan.
Muhammad Syamsul Haqqil
Azhim Abadi dalam 'Aunul
Ma'bud menambahkan, "Kata
ladang (hartsun) yang disebut
dalam Al-Quran menunjukkan,
wanita boleh digauli dengan cara
apapun : berbaring, berdiri atau
duduk, dan menghadap atau
membelakangi.. "
Demikianlah, Islam, sebagai
agama rahmatan lil 'alamin, lagi-
lagi terbukti memiliki ajaran yang
sangat lengkap dan seksama
dalam membimbing umatnya
mengarungi samudera
kehidupan. Semua sisi dan
potensi kehidupan dikupas
tuntas serta diberi tuntunan
yang detail, agar umatnya bisa
tetap bersyariat seraya menjalani
fitrah kemanusiannya. (Kang
Iftah. Sumber : Sutra Ungu,
Panduan Berhubungan Intim
Dalam Perspektif Islam, karya Abu
Umar Baasyir) melalui sebuah
blog

UMAT ISLAM , BERSATULAH !!!

Cukup banyak himbauan dalam
al-Qur 'an dan as-Sunnah untuk
menjalin hubungan
persahabatan dan persaudaraan
diantara kaum Muslimin, antara
lain bisa dilihat misalnya dalam :
"Sesungguhnya orang-orang
Mukmin itu saling bersaudara."
(Qs. al-Hujurat 49:10)
"Dan orang-orang Mukmin, laki-
laki dan perempuan, sebagian
dari mereka adalah penolong
[wali] bagi sebagian yang
lain. " (Qs. at-Taubah 9:71)
Dalam beberapa Haditsnya
Rasulullah Saw pun bersabda :
"Janji keselamatan bagi kaum
Muslim berlaku atas mereka
semua, dan mereka semua seia-
sekata dalam menghadapi
orang-orang selain mereka.
Barangsiapa melanggar janji
keamanan seorang Muslim, maka
kutukan Allah, Malaikat dan
manusia sekalian tertuju
kepadanya dan tidak diterima
darinya tebusan atau pengganti
apapun pada hari kiamah kelak. "
"Seorang Muslim adalah saudara
bagi Muslim lainnya. Tidak boleh
ia menganiayanya dan tidak pula
membiarkannya dianiaya.
Barangsiapa mengurusi
keperluan saudaranya sesama
Muslim, niscaya Allah akan
memenuhi keperluannya sendiri.
Dan barangsiapa membebaskan
beban penderitaan seorang
Muslim, maka Allah akan
membebaskan penderitaannya
dihari kiamat kelak. Dan
barangsiapa menutupi aib
seorang Mukmin, maka Allah
akan menutupi aibnya dihari
kiamat. "
"Hindarkan dirimu dari
persangkaan buruk,
sesungguhnya yang demikian itu
adalah sebohong-bohong
perkataan. Jangan mencari-cari
aib orang lain, jangan memata-
matai, jangan bersaingan
menawar barang dengan
maksud merugikan orang lain,
jangan saling menghasut, jangan
saling bermusuhan dan jangan
saling membenci. Jadilah kalian
hamba-hamba Allah yang
bersaudara. Dan tidaklah halal
bagi seorang Muslim
mendiamkan saudaranya sesama
Muslim lebih dari 3 hari. "
"…Lantaran itu, damaikanlah
diantara dua saudara kamu dan
berbaktilah kepada Allah agar
kamu diberi rahmat. "
(Qs. al-Hujurat 49:10)
"Hai orang-orang yang beriman,
jauhilah kebanyakan dari
prasangka, sesungguhnya
sebagian dari prasangka itu
adalah dosa; dan janganlah
kamu mengintai-intai dan
janganlah sebagian dari kamu
mengumpat sebagian yang lain;
apakah suka seseorang dari
kamu memakan daging bangkai
saudaranya ? Tentu kamu akan
merasa jijik kepadanya !
Bertakwalah kepada Allah,
sesungguhnya Allah itu
Pengampun, Penyayang."
(Qs. al-Hujurat 49:12)
Telah diketahui secara pasti
bahwa hanya dengan Islam dan
beriman secara sungguh-
sungguh, seorang hamba dapat
meraih puncak keridhoan Allah
azza wajalla. Ulama-ulama dari
Ahlus-Sunnah bersepakat bahwa
hakikat Islam dan Iman adalah
pengucapan 2 kalimah syahadat,
pembenaran adanya hari
kebangkitan, mendirikan sholat 5
waktu karena Allah,
melaksanakan ibadah Haji bila
mampu, berpuasa dibulan
Ramadhan serta mengeluarkan
zakat.
Bukhari dalam kumpulan
hadistnya telah meriwayatkan
beberapa sabda Rasulullah Saw :
"Barangsiapa bersaksi bahwa
Tiada Tuhan selain Allah,
menghadap kiblat kita,
mengerjakan sholat kita dan
memakan hasil sembelihan kita,
maka ia adalah seorang Muslim.
Baginya berlaku hak dan
kewajiban yang sama sebagai
Muslim lainnya. "
Berdasarkan ayat-ayat Allah dan
fatwa Nabi Muhammad Saw
diatas, adalah tidak pada
tempatnya kita selaku manusia
yang mengaku beragama Islam
dan mengaku telah beriman
secara Kaffah menciptakan
suasana rusuh dan
mengobarkan semangat
perpecahan dikalangan sesama
Muslim.
Maukah kita mendapatkan
kecaman dari Allah dan Rasul-
Nya ?
Umat Islam sudah cukup lama
terombang-ambing dalam
gelombang perpecahan aneka
ragam alirannya dan masing-
masing pihak merasa hanya
kaumnya sajalah yang paling
benar serta layak memasuki
syurga dan selain kaum mereka
ini maka kaum lainnya berada
pada posisi salah dan halal
neraka baginya.
Tidak urung ayat-ayat al-Qur'an
dan Hadist-hadist Nabi justru
dijadikan ujung tombak untuk
menghantam lawan bicaranya
sesama Muslim, entah itu mereka
yang menisbatkan diri dalam
jemaah Ahlus-Sunnah, Syi 'ah,
Muktazilah, Khawarij, Ahmadiyah
dan sebagainya.
Tidakkah mereka sadar bahwa
yang mereka perdebatkan ini
tidak lain adalah sesuatu
penafsiran terhadap hal yang
sama dalam sudut pandang yang
berbeda.
Imam Ali bin Abu Thalib r.a,
adalah contoh teladan kedua
sesudah Rasulullah Saw yang
mengajarkan mengenai hakikat
persaudaraan sesama Muslim,
menghargai keutuhan persatuan
umat dibawah panji-panji
kebenaran Tauhid.
Beliau menolak mengikuti
keinginan sebagian dari para
sahabat untuk melakukan
pemberontakan terhadap
pemerintahan Khalifah Abu Bakar
sepeninggal Rasulullah Saw, dan
disaat ia menjabat selaku
Khalifah, sikap ini terus
dipertahankannya bahkan dalam
medan pertempurannya
menghadapi gerakan 'Aisyah
pada peristiwa perang Jamal dan
disaat menghadapi
pemberontakan kelompok
Muawiyah.
Imam Ali bin Abu Thalib r.a,
begitu mengedepankan rasa
persaudaraan antar umat Muslim
diatas perasaan dirinya pribadi
sehingga beliaupun rela
mendapat kecaman dari
sejumlah orang atas sikapnya
yang lunak dengan Muawiyah
yang mengakibatkan pecahnya
pemberontakan kaum Khawarij
sampai terbunuhnya beliau
dalam salah satu kesempatan.
Tindakan dan sikap yang diambil
oleh Khalifah ke-4 yang juga
menantu Nabi Muhammad Saw
ini sudah pasti bukan tindakan
yang tidak disertai pertimbangan
dan kearifan yang tinggi, sebagai
salah seorang sahabat dan
keluarga terdekat dari Rasulullah,
Imam Ali bin Abu Thalib r.a,
tentunya merupakan orang yang
paling mengerti mengenai Islam
dan ia bukan seorang yang
pengecut.
Dengan demikian, hendaklah
kiranya kaum Muslimin sekarang
ini sudi untuk merenung dan
menganalisa secara bijak
mengenai perpecahan yang
terjadi diantara mereka,
perpecahan yang mengarah
kepada permusuhan dan
kebencian bukan menjadi satu
rahmat namun justru merupakan
malapetaka.
Kehormatan seorang Muslim
haruslah dijunjung tinggi
meskipun mungkin Muslim
tersebut memiliki sudut pandang
berbeda dengan kita terhadap
hal-hal tertentu, ini bukan alasan
untuk mengkafirkan mereka
apalagi menumpahkan darahnya
dengan mengatasnamakan
kebenaran.
Diriwayatkan oleh Bukhari dari
Abdu Dzar :
" Telah berkata Nabi Saw
kepadaku, bahwa malaikat Jibril
berkata: 'Barangsiapa diantara
umatmu meninggal dunia dalam
keadaan tiada menyekutukan
Allah dengan sesuatu apapun,
maka ia akan masuk syurga. ";
kemudian aku bertanya:
' Kendatipun ia pernah berzina
dan mencuri ?"; Jawab Nabi
Muhammad Saw: "Ya, walaupun
ia pernah berbuat hal itu."
Hadist diatas ini bukan
bertendensikan menghalalkan
tindakan kejahatan atas umat
Muhammad Saw akan tetapi
memiliki orientasi kepada
pengagungan harkat dan
martabat seorang Muslim.
Jelas bahwa Allah tidak lalai dari
apa yang kita kerjakan, suatu
perbuatan yang negatif, apabila
dilakukan secara terus menerus
tentunya akan menyebabkan
ketergeseran derajat
kemanusiaan seseorang
dihadapan Allah, dan lambat laun
seorang Muslim-pun dapat
menjadi seorang yang fasik atau
munafik dan tidak menutup
kemungkinan dia malah menjadi
kafir kepada Allah sehingga
jaminan Allah ini menjadi hilang
atas dirinya.
Diberbagai tempat kita
meributkan masalah ke-
Khalifahan, orang Syi 'ah merasa
lebih tinggi dari ahlus-Sunnah
dan sebaliknya kaum ahli-Sunnah
pun tidak jarang malah
memperolok-olokkan kaum
Syi 'ah dan bahkan beberapa
diantaranya sampai
mengkafirkan mereka hanya
karena mereka lebih mencintai
ahli Bait Nabi Muhammad Saw
dan mengeluarkan kritikan-
kritikan pedas atas beberapa
Muslim generasi awal.
Fenomena Ahmadiyah juga
menggelitik sejumlah umat Islam
untuk mendeskreditkan
sebagian dari mereka sampai
mengeluarkan fatwa tidak
syahnya status ke-Islaman semua
Jemaah ini.
Dikalangan ahlus-Sunnah
terdapat banyak Madzhab yang
dipimpin oleh Imamnya masing-
masing, diantaranya yang
terbesar adalah Imam Hambali,
Syafi'i, Maliki dan Hanafi, ke-4
Jemaah ini memiliki banyak sekali
perbedaan-perbedaan didalam
penafsiran atas ayat-ayat Allah
dan juga petunjuk Rasul-Nya,
dimulai dari masalah Thaharah,
Sholat, Puasa, Nikah, Talak dan
seterusnya.
Dibalik beberapa kesamaannya,
masing-masing mereka
memberikan argumen dari sudut
pandang yang berbeda tentang
banyak hal yang sama.
Padahal, apabila kita ingin
berbicara jujur, perselisihan yang
terjadi antar umat Islam dan
antar Jemaah maupun Mazhab
hanyalah karena masing-masing
memiliki penafsiran berbeda
tentang al-Qur'an dan Hadist
Rasul, namun apakah hal ini bisa
menjadikan satu alasan untuk
memberikan vonis kekafiran
kepada mereka ?
Andaikanlah diantara penafsiran
sebagian dari mereka ini
menyimpang dari apa yang
seharusnya, namun ini tetap saja
belum mengeluarkan status ke-
Islaman yang melekat pada diri
mereka, tentunya selama mereka
tetap berpegangkan kepada satu
Kalimah "Tidak ada Tuhan
tempat mengabdi selain Allah,
Tuhan yang memiliki nama-nama
terbaik dan memiliki sifat-sifat
suci, yang tidak beranak dan
tidak diperanakkan. "
Kehormatan seorang Muslim
tetap terjamin meskipun dia
mengucapkan kalimah "La ilaha
illa Allah" sebagai penyelamat
dari suatu usaha pembunuhan,
dan ini diceritakan oleh banyak
perawi Hadist.
Muslim dalam salah satu hadist
yang diriwayatkannya dari
berbagai saluran ada
menceritakan :
"Bahwa suatu hari 'Utban bin
Malik al-Anshari mengunjungi
Rasulullah Saw dan meminta
agar beliau mau singgah
kerumahnya dan sholat
didalamnya, karena ia ingin
menjadikannya Musholla. Dalam
satu pembicaraan diantara
mereka, Nabi menanyakan
keberadaan salah seorang dari
sahabat 'Utban yang bernama
Malik bin Ad-Dukhsyun bin
Ghunm bin 'Auf bin 'Amr bin 'Auf
yang diketahui sebagai orang
yang munafik.
Beberapa sahabat keheranan
dan mencoba mengingatkan
Nabi bahwa 'Utban itu adalah
orang yang munafik, tapi Nabi
mengeluarkan jawaban : "Jangan
berkata demikian, tidakkah kamu
melihatnya telah berucap "La
ilaha illa Allah" semata-mata demi
keridhoan Allah ?"; diantara para
sahabat masih ada yang
penasaran dan mencoba kembali
mengeluarkan argumennya :
" Memang benar ia mengucapkan
yang demikian, namun tidak
disertai dengan ketulusan
hatinya, sungguh kami sering
melihatnya pergi dan berkawan
dengan orang-orang munafik. "
Nabi menjawab : "Tiada
seorangpun bersaksi bahwa
Tiada Tuhan melainkan Allah dan
bahwa aku adalah Rasul Allah
yang akan dimasukkan kedalam
api neraka atau menjadi
umpannya. "
Demikianlah seharusnya kita
didalam berpijak, tidak mudah
melemparkan tuduhan kepada
seseorang atau sekelompok
kaum hanya karena berbeda
pendapat dengan diri kita,
sedangkan bagi orang yang
jelas-jelas seperti Malik bin Ad-
Dukhsyun saja Rasulullah Saw
tidak melemparkan ucapan
kekafiran atasnya dan malah
mengedepankan rasa baik
sangka sebagaimana yang
diajarkan oleh Allah.
Satu keselarasan yang bisa kita
kemukakan disini satu ayat al-
Qur 'an :
"Sesungguhnya orang-orang
Mu'min, orang-orang Yahudi,
orang-orang Nasrani dan orang-
orang Shabiin, siapa saja
diantara mereka yang benar-
benar beriman kepada Allah, Hari
kemudian dan beramal saleh,
mereka akan menerima ganjaran
dari Tuhan mereka, tidak ada
ketakutan terhadap mereka, dan
tidak berduka cita. "
(Qs. al-Baqarah 2:62)
Nyata sekali bahwa jangankan
kepada orang yang mengakui
ke-Rasulan Muhammad Saw bin
Abdullah, bahkan bagi mereka
yang tidak mengakui kenabian
Muhammad pun yang dalam
istilah kita sekarang ini termasuk
dalam kategori Unitarian tetap
mendapatkan jaminan dari Allah
untuk memperoleh ganjaran
disisi-Nya selama mereka tidak
mengadakan Tuhan-Tuhan
dalam bentuk apapun selain Allah
yang Maha Esa, yang Tidak
beranak dan tidak diperanakkan,
yang tidak memiliki kesetaraan
dengan apapun dalam keyakinan
mereka.
Kita seringkali terlalu banyak
memperturutkan rasa ke-
egoismean semata didalam
menghadapi orang yang tidak
sejalan dengan kita yang akibat
dari semua ini akan menyulut
konflik berkepanjangan dan
tidak berkesudahan.
al-Qur'an dalam surah ali Imran
(3) ayat ke 159 menganjurkan
untuk mengadakan musyawarah
didalam mencapai jalan keluar
terbaik, selain itu ; juga dalam
Surah yang lain, al-Qur 'an pun
memberikan kebebasan bagi
manusia untuk melakukan dialog
pertukar pikiran secara baik-baik
dan saling menghargai.
Seorang manusia dilarang
mencemooh manusia lainnya
berdasarkan firman Allah dalam
surah al-Hujurat (49) ayat 11 dan
beberapa firman Allah berikut ini
pun harus menjadi renungan
tambahan bagi kita :
"Sesungguhnya mereka yang
suka akan tersebarnya
keburukan dikalangan kaum
beriman akan mendapatkan azab
yang pedih didunia dan
akhirat …"
(Qs. an-Nur 24:19)
"Hai orang-orang yang beriman,
hendaklah kamu menjadi
manusia yang lurus karena Allah,
menjadi saksi dengan adil; dan
janganlah kebencian kamu atas
satu kaum menyebabkan kamu
berlaku tidak adil.
Berbuatlah adil, ini lebih
mendekatkan kamu kepada
ketakwaan; takutlah kamu
kepada Allah sebab Allah amat
mengetahui apa yang kamu
kerjakan. "
(Qs. al-Maidah 5:8)
Kita acapkali jengkel dengan
penafsiran segelintir jemaah
terhadap ayat-ayat al-Qur 'an dan
juga al-Hadist, mereka memutar
balikkan semuanya sekehendak
hati mereka sehingga masing-
masing merasa bahwa ayat-ayat
dan Hadist-hadist tersebut
memperkuat aliran mereka,
namun sesuai amanat al-Qur'an,
yang demikian tidak berarti
harus kita sikapi dengan anarkis
dan menghilangkan sudut
keobjektifitasan kita.
Marilah kita saling bahu
membahu antar sesama saudara
seiman didalam menegakkan
ajaran Allah, para pengikut ahli
Bait menjalin hubungan baik
dengan mereka yang mengaku
sebagai pengikut sunnah Nabi;
dan keduanya ini pun haruslah
mau untuk tidak memutuskan
tali silaturahmi terhadap
mereka yang berasal dari jemaah
Ahmadiyah dan begitulah
seterusnya secara wajar.
Kita boleh bertukar pikiran dan
kita juga tidak dilarang untuk
saling berdebat, mari kita
kemukakan dalil-dalil yang kita
miliki dan kita yakini menunjang
apa yang kita jalani, jikapun tidak
terdapat jalan keluar terbaik,
marilah kita benci pendapatnya
saja namun bukan orangnya.
"Apabila kamu berbantahan
disatu permasalahan, hendaklah
kamu mengembalikannya
kepada Allah dan Rasul apabila
adalah kamu beriman kepada
Allah dan hari kemudian. "
(Qs. an-Nisa' 4:59)
Banyak orang mengatakan
bahwa melakukan Bai'at
terhadap pemimpin itu wajib
hukumnya, namun ber-bai 'at
terhadap Allah dan Rasul-Nya
Muhammad Saw jauh melebihi
dari kewajiban berbai'at kepada
siapapun.
Jika mencintai ahli Bait adalah
suatu keharusan, maka
berpegang kepada Sunnah itu
pun merupakan bagian dari
keimanan.
Mari kita hargai hasil ijtihad dari
masing-masing manusia
sebagaimana kita juga ingin
orang lain menghargai pendirian
yang kita yakini.
Tulisan ini tidak untuk ditujukan
pembenaran suatu klaim dari
jemaah tertentu dan tidak pula
dimaksudkan untuk
menyudutkan suatu pandangan
tertentu pula, semua ini hanyalah
karena terdorong rasa kerinduan
terhadap hadirnya kembali ruh-
ruh Muhammad maupun sosok
Ali bin Abu Thalib r.a yang
mencintai persaudaraan dan
kesatuan umat Islam.
"Sesungguhnya mereka yang
memperdebatkan ayat-ayat Allah
dengan tidak ada alasan yang
datang kepada mereka, tidak ada
didada-dada mereka melainkan
kesombongan yang mereka tidak
akan sampai kepadanya. "
(Qs. al-Mu'min 40:56)
"Dan janganlah kamu mengikuti
apa yang kamu tidak mempunyai
pengetahuan didalamnya.
Sesungguhnya pendengaran,
penglihatan dan hati, semuanya
itu akan diminta
pertanggunganjawabnya. "
(Qs. al-Israa 17:36)

DAKWAH YG MENYEJUKAN

"Serulah (manusia) kepada jalan
Tuhan-mu dengan hikmah dan
pelajaran yang baik dan
bantahlah mereka dengan cara
yang baik. Sesungguhnya
Tuhanmu Dialah yang lebih
mengetahui tentang siapa yang
tersesat dari jalan-Nya dan Dialah
yang lebih mengetahui orang-
orang yang mendapat petunjuk".
(QS. An-Nahl [16]: 125).
Sebagai seorang muslim,
sudah menjadi suatu kewajiban
bagi kita untuk menyayangi
setiap manusia. Lantas mengapa
masih saja ada di antara kita
yang tetap berada di masjid-
masjid sedangkan orang lain
membinasakan dirinya? Padahal
makna dari cinta dan kasih
sayang adalah tidak memilih
siapa dan di mana tempatnya.
Mengapa kita tinggal diam
sedangkan kedurhakaan
merajalela dan menyebar ke
mana-mana seperti wabah.
Tidakkah kita merasa takut bila
pengaruhnya akan menimpa diri
kita sendiri dan akan
mengantarkan kita kepada azab
Allah yang sungguh perih di
neraka?
Sesungguhnya telah
datang waktunya bagi kita untuk
menggunakan metode dakwah
yang dipakai oleh Rasulullah,
yakni dakwah yang
menyejukkan. Rasulullah
bersabda:"Sampaikanlah dariku
sekalipun hanya satu ayat." (HR.
Bukhari, Ahmad Tirmidzi dan
lain-lainya). Jadi jelas, anjuran
kepada sebuah kebaikan seperti
halnya dakwah adalah wajib
karena akan membawa kepada
kebahagiaan bagi orang yang
berdakwah dan keselamatan
bagi orang yang
mendengarkannya.
Memang benar, Rasulullah
SAW telah meraih keberhasilan
luar biasa yang belum pernah
terjadi hal yang semisal
dengannya dalam sejarah
manusia, karena Beliau memiliki
akhlak dan kesabaran yang
agung dalam berdakwah.
Bahkan musuh yang datang
kepadanya, berbalik menjadi
teman. Begitulah keutamaan
dakwah yang menyejukkan dan
telah dicontohkan oleh Baginda
Rasulullah kepada kita. Jadi
mengapa kita yang mengaku
umatnya tidak menirukan hal
yang serupa dengan Beliau?
Allah SWT mencela orang
yang menyembunyikan ilmu dan
orang yang mengingkari
kebaikan yang telah diberikan
oleh Allah kepadanya, padahal
seharusnya ia serukan juga
kepada orang lain. Untuk itu
Allah berfirman dalam surat Al-
Baqarah [2] ayat 159-160 yang
artinya: "Sesungguhnya orang-
orang yang menyembunyikan
apa yang telah Kami turunkan
berupa keterangan-keterangan
(yang jelas) dan petunjuk, setelah
Kami menerangkannya kepada
manusia dalam Al Kitab, mereka
itu di laknati Allah dan di laknati
(pula) oleh semua (makhluk)
yang dapat melaknati, kecuali
mereka yang telah taubat dan
mengadakan perbaikan dan
menerangkan (kebenaran), maka
terhadap mereka itulah Aku
menerima taubatnya dan Akulah
Yang Maha Menerima taubat lagi
Maha Penyayang."
Dakwah adalah sebuah
metode yang pas untuk
menyampaikan wahyu Illahi.
Pertanyaannya, bagaimana
metode dakwah itu
disampaikan? Pada kondisi dan
tempat yang bagaimana
sebaiknya untuk berdakwah?
Ada beberapa hal yang
perlu diperhatikan dan dihindari
dalam rangka mencapai dakwah
yang menyejukkan: Pertama,
sebagian da`i ada yang
menuding para pelaku
kemaksiatan dengan menyebut
nama-nama mereka secara
terang-terangan atau mengecam
mereka dan tak jarang dengan
caci maki di hadapan orang
banyak seraya membeberkan
maksiat yang mereka lakukan. Ini
jelas salah dan untuk itu Imam
Syafi`i mengatakan:
"Kemukakanlah nasihatmu
kepadaku dengan empat mata,
jangan mengemukakannya
kepadaku di hadapan orang
banyak, sesungguhnya nasihat di
hadapan orang banyak sama
dengan melecehkan harga diri.
Aku tidak mau mendengarnya.
Jika engkau menentangku dan
tidak mau menuruti saranku
maka janganlah terkejut bila
nasihatmu tidak ditaati." Dalam
hal ini, kita harus sadar bahwa
yang berhak mencaci dan
melaknat manusia adalah Allah
semata Yang Maha Sempurna.
Tidak ada seorang pun manusia
yang berhak mencaci dan
melaknat manusia lain.
Kedua, banyak da`i
menyampaikan dakwah hanya di
masjid saja, sedangkan kita
ketahui bahwa orang-orang
yang datang ke masjid adalah
orang-orang yang, meskipun
dengan kadar kesadaran dan
niatnya masing-masing,
sebelumnya pasti sedikit banyak
telah mengetahui kebenaran.
Sedangkan saudara-saudara kita
yang jauh dari ibadah dan
tempat beribadah kepada Allah
(di tempat-tempat maksiat), tidak
tergubriskan oleh mereka (para
da`i). Sedangkan mereka
mungkin tidak tau apa-apa, atau
paling tidak, sulit mendapatkan
akses dakwah. Bahkan tidak
sedikit pula para da'i yang tidak
sudi untuk mendekati tempat-
tempat itu dengan berbagai
macam alasan. Padahal kita
ketahui bahwa tempat-tempat
semacam itu jelas bisa
mendatangkan dosa bagi
mereka. Dan kita berkewajiban
untuk mengajak mereka kepada
kebenaran, setelah itu barulah
kita serahkan lagi kepada
mereka untuk mengambil
keputusan.
Ketiga, tidak adanya
kesabaran kita dalam
menyampaikan kebenaran
kepada orang yang berhak
menerimanya. Kita sering
berharap ketika berdakwah
maka orang yang mendengarkan
langsung menerimanya. Jika
tidak, maka setelahnya kita akan
pergi meninggalkannya begitu
saja serta tidak ada kegigihan
dalam bersikap dan berusaha.
Padahal Rasulullah saja tidak
dengan serta merta bisa
langsung diterima oleh bangsa
Arab waktu itu. Beliau melakukan
dakwah dengan cara bertahap.
Keempat, bahwa sebagian
watak da`i ada yang tidak dapat
menyampaikan kebajikan secara
benar, sehingga kebajikan yang
disampaikan terkesan kasar lagi
keras sehingga tidak dapat
diterima oleh orang lain. Allah
berfirman: "Sekiranya kamu
bersikap keras lagi berhati kasar,
tentulah mereka menjauhi diri
dari sekelilingmu….(QS. Ali-Imran
[3]:159).
"Siapakah yang lebih baik
perkataannya daripada orang
yang menyeru kepada Allah…..,
(QS. Fushshilat [41]: 33).
Kelembutan dan kasih sayang
sebagai senjata dan kesabaran
sebagai kendaraannya adalah
metode yang sangat ampouh
dalam berdakwah, sebagaimana
digunakan oleh Rasulullah SAW
dan para Nabi terdahulu. Sikap
lembut dalam menyampaikan
kebenaran lagi diutarakan
dengan kasih sayang, bukan
dengan menuding orang-orang
yang melakukan kedurhakaan,
dan tanpa memilih dimana
tempatnya, merupakan salah
satu faktor meresapnya hidayah
ke dalam hati. Hanya dengan cara
inilah, manusia dapat dibawa ke
jalan kebaikan. "Sesungguhnya
Allah Maha Lembut lagi menyukai
kelembutan dalam semua
urusan" (HR. Bukhari, Muslim,
Ahmad, dan lain-lainnya).
Orang yang bijak adalah
orang yang menyampaikan
sebuah kebenaran dengan
lemah-lembut dan penuh rasa
kasih sayang. Sadarkah kita
bahwa sesungguhnya kita
kurang memiliki kebijakan.
Sesungguhnya kita kurang
memiliki belas kasih.
Sesungguhnya kita kurang
memiliki cara dan taktik. Kita
hanya memusatkan perhatian
kita pada masjid-masjid dan
meningggalkan tempat-tempat
lain. Kalau ahli masjid semuanya
dalam keadaan siap, tentu
mereka datang untuk
menunaikan shalat. Mereka
adalah orang-orang yang
istiqamah, ahli ibadah, lagi benar
melakukan ruku` dan sujud. Akan
tetapi, saudara-saudara kita,
kerabat kita, anak-anak kita,
tetangga kita, dan teman-teman
kita yang ada di luar masjid,
terlebih tempat-tempat hiburan
(maksiat), maka siapakah yang
akan menunjuki mereka ke jalan
Allah yang lurus? Mari kita
berdoa jangan sampai seseorang
diantara kita lalai terhadap ayat-
ayat Alqur`an karena resikonya
sangat besar bagi diri kita
sendiri dan tentunya orang lain
di akhirat nanti. Jadi mari dari
sekarang kita mengevaluasi dan
memperbaikinya.
Ya Allah sesungguhnya
kami telah berserah diri, beriman
dan membenarkannya. Maka dari
itu ya Allah, bukalah untuk kami
pintu perkenan-Mu. Tolonglah
kami dengan hidayah dan
inayah, berilah kami dengan
karunia dan kenikmatan serta
anugerah dalam pemberian-Mu,
kembalikanlah yang hilang dari
tangan kaum muslim selama ini.
Ya Allah, berilah kami petunjuk ke
jalan-Mu yang lurus dan
teguhkanlah kami pada
kebenaran sampai kami bersua
dengan-Mu di yaumil akhir nanti.
Segala puji bagi Allah
Tuhan Yang Maha Pengasih lagi
Maha Penyayang, dan semoga
shalawat beserta salam
tercurahkan sebanyak-
banyaknya kepada Baginda Nabi
Muhammad SAW, keluarga, para
sahabat, para mujahid dan para
alim ulama.
Wallahu a`lam
bishshowwab.